Di dekat sebuah taman kota, tampak seorang penjual es krim sedang sibuk melayani pembelinya yang kebanyakan anak-anak. Siang yang terik masih menyisakan hawa panas di sore itu, membuat kerongkongan anak-anak itu dahaga dan menginginkan sesuatu yang dingin dan manis. Oleh karena itu, begitu melihat gerobak es krim, mereka langsung merengek-rengek minta dibelikan. Ada yang diberi uang oleh orang tuanya lalu pergi sendiri mendatangi penjual es krim itu, ada juga anak yang ditemani oleh orang tuanya. Diantara anak-anak yang mengerubungi penjual es krim itu, tampak seorang anak yang agak ragu-ragu mendekati gerobak es krim itu. Ia menunggu sampai keadaan sepi dari pembeli barulah ia melangkah mendekati penjual es krim itu
“Bang, es krimnya berapaan?”
“Lima ribu, Dik”
“Uang saya cuma tiga ribu, boleh nggak saya minta setengah saja?”
“Oh nggak bisa Dik, mintalah tambahan uang sama orang tuamu”
“Bapak saya tidak punya uang lagi, tadi minta lima ribu yang ada cuma tiga ribu”
“Kalau gitu jajannya yang harga tiga ribuan saja”
“Tapi saya ingin minum es krim seperti anak-anak yang lain itu”
Beberapa anak datang membeli es krim, si penjual kembali sibuk melayani
“Bang, boleh nggak es krimnya tiga ribu”
Dengan sedikit kesal si penjual es krim membentaknya “kan sudah dibilang tidak bisa tadi, sudah sana pulang saja kalau nggak punya uang”
Serentak anak-anak yang sedang membeli es krim itu menoleh ke arahnya. Dengan perasaan kesal dan malu ia meninggalkan tempat itu dengan sedikit berlari agar segera berlalu dari tempat itu.
Sesampainya di rumah ia ingin mencoba meminta uang lagi. Namun pertengkaran orang tuanya masalah kekurangan uang belanja mengurungkan keinginannya. Ia berjalan gontai memasuki kamarnya. Dinding kamar yang terbuat dari tepas bambu itu membuat ia dengan jelas mendengar semua pertengkaran orang tuanya. Perasaannya sangat sedih sekali, pikiran anak-anaknya tak mampu memahami kenapa ayahnya tak mampu memberinya uang jajan sebesar lima ribu saja, sedangkan diluar sana banyak ayah-ayah yang lain yang dengan mudahnya memberi uang jajan bahkan lebih dari sekedar lima ribu. Ia pun tak habis pikir kenapa harga es krim harus lima ribu, kenapa tidak bisa seribu atau bila perlu tidak usah membayar jadi semua anak-anak yang ingin minum es krim bisa menikmatinya.
Gumpalan kekecewaan itu lambat laun semakin membesar dan memenuhi rongga dadanya. Lalu gumpalan itu mengeras seperti baja, menjadi sebuah tekad yang ingin diwujudkan dikemudian hari. Kini ia mempunyai tujuan hidup yang sangat ia cita-citakan, yaitu menjadi penjual es krim gratis bagi anak-anak. Lalu dia pun tertidur, dalam tidurnya ia bermimpi menjadi penjual es krim yang disukai anak-anak. Seketika mimpinya buyar karena tubuhnya digoncang ibunya yang mengajak makan malam. Begitu indah mimpi itu sampai bisa melenakan ia dari asinnya garam ikan asin, lauk yang menemani nasi hampir setiap hari.
Keinginannya menjadi penjual es krim, bukanlah cita-cita seperti cita-cita anak kebanyakan yang mudah berubah seiring waktu berjalan. Namun cita-cita bocah laki-laki itu begitu kuatnya terpatri di dalam hatinya. Ketika ia tamat SMA, ia melamar pekerjaan di perusahaan es krim. Dengan latar belakang pendidikannya, maka pekerjaan yang tersedia untuknya sebagai sales, menjual es krim keliling. Ia senang saja menerima pekerjaan itu, karena ia berpikir pekerjaannya itu akan memberinya pengetahuan tentang rasa es krim apa saja yang paling disukai anak-anak.
Dua tahun bekerja sebagai sales, kepala stafnya memindahkan ia ke bagian produksi. Ia sangat senang sekali dengan pemindahan itu, karena disitulah ia mengetahui cara membuat es krim yang baik dan enak. Melihat performa dan semangat kerjanya selama lima tahun, kepala produksi memindahkannyanya ke bagian pengadaan. Di sini ia mempelajari cara memilih bahan-bahan yang bagus untuk membuat es krim dan sekaligus tempat membelinya. Tiga tahun dibidang pembelian, ia pun mengundurkan diri dari perusahaan es krim tersebut.
Berbekal pengalaman dan tabungan selama 10 tahun bekerja di perusahaan es krim, ia merasa kini saatnya mewujudkan mimpinya. Ia membeli mesin pembuat es krim yang bisa ia operasikan sendiri, karena ia ingin mewujudkan mimpinya tanpa bantuan siapa-siapa. Di hari pertama ia membuka gerainya, ia langsung menjadi perhatian orang-orang, karena ia hanya menjual es krim untuk anak-anak saja. Dan yang lebih membuat heran lagi, ia tidak menerima pembayaran dalam bentuk uang melainkan dengan sebuah senyuman. Jadi kalau ada anak yang ingin membeli es krim, tak perlu membawa uang cukup dengan sebuah senyuman saja.
Namun sangat disayangkan, karena ia hanya mengandalkan tabungan usahanya hanya bertahan satu tahun saja. Di tahun kedua ia harus menutup gerainya. Banyak anak-anak yang kehilangan kehadirannya, lalu mencari tahu kenapa ia tidak berjualan lagi. Merekapun akhirnya mengetahui alasan dia tidak berjualan lagi karena kehabisan modal. Anak-anak yang pernah membeli es krimnya dengan senyuman, membujuk orang tuanya untuk membantu penjual es krim itu.
Di suatu siang, ia terbangun karena ketukan dipintunya yang keras dan berulang-ulang. Ia kelelahan menghabiskan malam dengan menulis puluhan lamaran pekerjaan. Dua orang pria dengan setelan rapi menunggunya diluar. Begitu pintu rumah dibuka, salah satu dari mereka menanyai dengan antusias
“Dengan bapak Tony Wijaya”
“Betul saya sendiri, ada perlu apa ya?”
“Kami dari Bank Semeru ingin menyampaikan bahwa rekening atas nama bapak sudah berhasil dibuat, bapak tinggal menandatangani formulir ini saja. Ia lalu menandatangi formulir itu. Begitu formulir selesai ditandatangani, mereka lalu menyerahkan sebuah buku rekening dan satu kartu ATM lalu bergegas pamit. Setelah kedua pria itu berlalu, ia lalu membuka buku rekening itu, matanya melotot melihat jumlah yang tertera dibuku rekening itu. Jumlahnya membuat ia tak perlu lagi pusing memikirkan modal usahanya selama sepuluh tahun.
Ia lalu melompat-lompat kegirangan, tingkahnya menjadi perhatian orang yang lalu lalang didepan rumahnya karena ia telah lupa menutup pintu. Rasa lelah dan kantuknya tiba-tiba menghilang begitu saja berganti dengan ribuan senyum anak-anak yang sambil menjilati es krim buatannya dengan lahap. Kini ia mengerti kenapa seseorang pernah menulis bahwa anak-anak adalah malaikat kecil.
Aceh Timur, 18 April 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar