SENJA
Banyak
orang yang menyukai senja, termasuk Ayah. Sinar mentari yang berwarna oranye,
dengan siluet lingkungan disekitarnya memberi pemandangan yang indah untuk
dipandang mata. Apalagi
pemandangan senja yang didominasi matahari yang hampir tenggelam, atau sunshine
kalau orang barat mengistilahkannya diabadikan dalam sebuah foto, pemandangan
dikala senja mampu menyita perhatian dan emosi orang yang memandangnya.
Tapi
bagi Ayah pemandangan senja bukan untuk dijadikan latar belakang foto, karena
senja adalah untaian kenangan memori
yang keindahannya melebihi keindahan selembar foto. Dikala
senja Ayah lahir, yang membuat kakek dan nenek menangis haru, bukan saja karena
Ayah anak pertama dan kelak menjadi satu-satunya, namun kelahiran Ayah adalah
usainya penantian Kakek dan Nenek selama 5 tahun menikah.
Dikala
senja juga Ayah mengungkapkan perasaannya kepada Ibu, dan Ibu menerimanya.
Mereka jadi sepasang kekasih dan menikah. Terinspirasi
dari kisah Ayah lalu Ku coba untuk mengungkapkan perasaanku kepada Liza, gadis
tetangga kampungku disaat senja juga. Namun
kenangan indah Ayah tentang senja tidak menurun kepadaku. Liza
yang kuajak ke tepi pantai dikala senja, tampak gugup dan merengek-rengek minta
pulang.
Kata-kata
indah yang sudah Ku rangkai tenggelam bersama matahari. Dibelakang hari baru
kutahu kalau gadis itu rabun senja .
Sebagai
orang yang tinggal dipinggir pantai, senja bukanlah hal yang menarik bagiku.
Namun
tidak bagi adikku Doni, yang sekarang duduk dikelas 5 SD. Senja saat yang
bahagia baginya, karena disaat senja Ayah pulang melaut.Ia
memandang ke arah laut yang jaraknya berkisar 100 meter dari rumah. Ketika
sosok bayangan pria muncul, lalu ia
berlari menghampiri Ayah sambil berusaha membantu membawa hasil tangkapan Ayah
semampu yang dapat ia bawa.
Selepas
SMA aku tidak melanjutkan sekolah lagi. Pendapatan Ayah sebagai nelayan kecil,
terlalu berat untuk memikul biaya kuliah di perguruan tinggi. Akhirnya aku
harus pasrah membantu Ayah melaut, paling tidak Aku dapat meringankan pekerjaan Ayah
dalam mencari nafkah.
Sehabis
subuh aku dan Ayah bersiap-siap pergi ke laut. Ibu yang bangun sebelum subuh
sudah menyiapkan bekal kami, dengan lauk pauk sederhana. Ku lihat Doni masih
mendengkur, wajah polosnya tertidur dengan nyenyaknya tanpa beban. Ada
perasaan iba dalam diriku, rasa iba bercampur dengan kebimbangan akankah adikku
ini nasibnya bisa lebih beruntung dari nasibku. Dalam hati Ku berdo’a semoga
Tuhan memberinya nasib yang lebih baik dari Aku.
Melaut
sebetulnya menyenangkan bagiku. Mengarungi laut dengan pemandangan air laut
yang kebiru-biruan terbentang dengan luasnya, langit biru dengan awan yang
berarak membentuk berbagai gambar dalam imajinasiku , angin yang berhembus
sepoi-sepoi, menyadarkan kepadaku begitu sempurnanya ciptaan Yang Maha Kuasa.
Sebagai
seorang nelayan saat-saat yang menyenangkan adalah ketika hasil tangkapan
melimpah ruah. Ribuan ikan yang terjerat dalam jaring meronta-ronta dan
akhirnya terkulai dengan pasrah. Dengan
bobotnya yang puluhan kilo sekali tangkap, menjanjikan penyelesaian berbagai
masalah keluarga miskin seperti kami. Terbayang
senyum Ibu saat melunasi hutang belanja bulan lalu di kedai Mak Ida. Senyum lebar Doni karena tunggakan
uang sekolahnya terlunasi.
Saat
yang tidak menyenangkan bagi nelayan, ketika jumlah tangkapan sedikit.
Terbayang wajah Ibu, tertunduk lesu saat mengajukan pembukaan hutang baru
kepada Mak Ida. Biasanya Mak Ida tetap memberikan hutang belanja dikedainya,
dengan syarat diomelin dulu. Mak
Ida sepertinya harus pasrah dengan konsumennya yang berhutang, karena
konsumennya yang mata pencahariannya di dominasi nelayan, dengan pendapatan tak
tentu mengharapkan transaksi tunai sulit ia dapatkan “jauh panggangan dari api”
kata orang tua dulu. Situasi
yang tidak mengenakkan ini, dilampiaskannya dengan omelan ketika melayani
konsumennya.
Walaupun
diomelin Mak Ida, ibu-ibu dikampungku termasuk ibuku sendiri, tidak pernah
kapok untuk berbelanja di kedai Mak Ida.Karena
omelan Mak Ida mereka anggap bagai angin lalu saja, karena terlalu seringnya
mereka di omelin. Sesama
kaum perempuan mereka sepertinya saling memahami sikap Mak Ida adalah sikap
perempuan pada umumnya, mengomel ketika berhadapan dengan situasi yang tidak
mengenakkan.
Lagi
pula di kedai Mak Ida lah mereka bisa berbelanja dengan berhutang, seolah-olah
Mak Ida lah yang mengerti kesusahan mereka. Diam-diam
sebetulnya mereka mengangggap Mak Ida adalah pahlawan, pahlawan bagi
para istri yang menjadi korban
dari pendapatan suami yang tak pasti.
Waktu
berlalu dengan cepat. Tak terasa aku sudah setahun membantu Ayah melaut,
sedikit banyaknya pengetahuan tentang melaut pun aku mulai paham. Melaut
adalah pekerjaan yang membutuhkan
pemahaman bahasa alam. Untuk mencari posisi ikan, cukup memperhatikan dimana
burung layang-layang banyak terbang. Kalau
disuatu tempat itu banyak burung layang-layang maka dapat dipastikan ditempat
itu banyak ikan, karena burung layang-layang ini pun memakan ikan juga. Untuk
mengetahui badai , dengan meperhatikan awan dan aroma udara. Awan yang terlalu
banyak ditambah aroma udara terasa tidak segar (bau amis, apek) maka itu
tandanya akan ada badai.
Kini
Doni sudah kelas 6 SD, bahkan hari ini adalah hari terakhir dia sekolah, karena
hari ini hari pengambilan rapor terakhirnya. Hari
ini aku tidak melaut, kemarin tanganku terkena patil ikan sembilang. Bisa patil
sembilang membuatku demam, aku tidak bisa membantu Ayah melaut, Ayah pergi
dengan Wak Min, tetanggaku yang hari ini tidak punya kawan melaut juga.
Menjelang
siang ku dengar suara kaki tergopoh-gopoh mendekati pintu, “Bang, bang coba
abang lihat rapor ku ini”. Doni menghampiriku dengan membuka rapornya, rangking
2 tertulis di situ, selama ini ia hanya mampu bertahan di sepuluh besar. Rasa
senangku Ku luapkan dengan menggendongnya. Kulihat senyum Ibu mengembang lebar,
“Kepala Sekolah memberikan beasiswa bagi anak yang rangkingnya berada di 5
besar, sampai tamat SMP” kata Ibu. “Alhamdulillah” jawabku. Aku pun tersenyum
lebar mendengarnya.
Berita
menggembirakan ini, tak sabar bagi Doni untuk menyampaikannya kepada Ayah.
Menjelang senja, ia sudah mondar-mandir
melihat ke arah laut menunggu kepulangan Ayah. Tidak
berapa lama sosok bayangan pria dewasa
muncul, ia berlari menghampiri, seakan-akan tak kuat lagi membendung ingin
segera menyampaikan berita yang menggembirakan itu. Bayangan
itu mendekat, aku meyadari itu bukan Ayah, perasaan cemas menjalar di sekujur
tubuhku. Akupun berlari menghampiri, “Ayah mana Wak Min?.” Wak Min menarik napas
panjang, lalu menggenggam bahuku dengan keras, sambil berkata dengan nada
terbata-bata “Ayah,..Ayah kau dibawa ombak”. Mendengar
itu, Doni menangis dengan kerasnya, Ku hampiri, lalu Ku gendong untuk
menenangkannya. Isakan tangisnya”Ayah kita sudah tidak ada lagi bang” menusuk
dalam hatiku, tanpa terasa bulir-bulir air mataku menetes.
Menurut
cerita Wak Min, perahu motor yang mereka tumpangi bersama Ayah dihempas badai.
Mereka terlempar dari perahu, mujur bagi Wak Min sebongkah kayu menghampirinya,
lalu kayu itulah tempatnya mengapung, sampai nelayan lain datang membantu. Sedangkan
Ayah begitu terlempar, lalu disambut lagi dengan gulungan ombak yang besar,
menenggelamkannya dilaut yang sedang mengganas. Nelayan lain yang datang
membantu, sudah berusaha mencari, namun badai yang tidak bisa bersahabat waktu
itu mengancam keselamatan mereka. Akhirnya
mereka dengan berat hati, segera mendarat untuk menghindari ganasnya badai yang
sedang marah itu.
Berlahan
tapi pasti, waktu jualah yang bisa merubah situasi. Kesedihanku dan Doni
kehilangan Ayah berangsur-angsur reda, kami pun telah ikhlas melepas
kepergiannya.
Tinggal
Ibu yang sepertinya masih berat melupakan pria yang dicintainya itu .Terkadang
disaat larut malam, kudengar isakan
tangisnya merindukan Ayah, aku merasa betapa besar rasa cintanya kepada Ayah. Lalu
keesokan harinya, Ibu akan menatap ke laut disaat senja, sampai senja
menghilang, barulah Ibu masuk kerumah, seolah-olah senja mewakili kehadiran
pria yang dicintainya itu, pria yang lahir di kala senja, lalu berpulang dikala
senja jua. Aku menyebutnya lelaki senja.
Bandar
Klippa, 8 Nopember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar