Selasa, 15 Agustus 2017

Cerpen - Senja

SENJA
 Cerpen - Senja
Banyak orang yang menyukai senja, termasuk Ayah. Sinar mentari yang berwarna oranye, dengan siluet lingkungan disekitarnya memberi pemandangan yang indah untuk dipandang mata. Apalagi pemandangan senja yang didominasi matahari yang hampir tenggelam, atau sunshine kalau orang barat mengistilahkannya diabadikan dalam sebuah foto, pemandangan dikala senja mampu menyita perhatian dan emosi orang yang memandangnya.


Tapi bagi Ayah pemandangan senja bukan untuk dijadikan latar belakang foto, karena senja  adalah untaian kenangan memori yang keindahannya melebihi keindahan selembar foto. Dikala senja Ayah lahir, yang membuat kakek dan nenek menangis haru, bukan saja karena Ayah anak pertama dan kelak menjadi satu-satunya, namun kelahiran Ayah adalah usainya penantian Kakek dan Nenek selama 5 tahun menikah.

Dikala senja juga Ayah mengungkapkan perasaannya kepada Ibu, dan Ibu menerimanya. Mereka jadi sepasang kekasih dan menikah. Terinspirasi dari kisah Ayah lalu Ku coba untuk mengungkapkan perasaanku kepada Liza, gadis tetangga kampungku disaat senja juga. Namun kenangan indah Ayah tentang senja tidak menurun kepadaku. Liza yang kuajak ke tepi pantai dikala senja, tampak gugup dan merengek-rengek minta pulang.
Kata-kata indah yang sudah Ku rangkai tenggelam bersama matahari. Dibelakang hari baru kutahu kalau gadis itu rabun senja .

Sebagai orang yang tinggal dipinggir pantai, senja bukanlah hal yang menarik bagiku.
Namun tidak bagi adikku Doni, yang sekarang duduk dikelas 5 SD. Senja saat yang bahagia baginya, karena disaat senja Ayah pulang melaut.Ia memandang ke arah laut yang jaraknya berkisar 100 meter dari rumah. Ketika sosok bayangan pria muncul,  lalu ia berlari menghampiri Ayah sambil berusaha membantu membawa hasil tangkapan Ayah semampu yang dapat ia bawa.

Selepas SMA aku tidak melanjutkan sekolah lagi. Pendapatan Ayah sebagai nelayan kecil, terlalu berat untuk memikul biaya kuliah di perguruan tinggi. Akhirnya aku harus pasrah membantu Ayah melaut, paling tidak Aku dapat meringankan pekerjaan Ayah dalam mencari nafkah.

Sehabis subuh aku dan Ayah bersiap-siap pergi ke laut. Ibu yang bangun sebelum subuh sudah menyiapkan bekal kami, dengan lauk pauk sederhana. Ku lihat Doni masih mendengkur, wajah polosnya tertidur dengan nyenyaknya tanpa beban. Ada perasaan iba dalam diriku, rasa iba bercampur dengan kebimbangan akankah adikku ini nasibnya bisa lebih beruntung dari nasibku. Dalam hati Ku berdo’a semoga Tuhan memberinya nasib yang lebih baik dari Aku.

Melaut sebetulnya menyenangkan bagiku. Mengarungi laut dengan pemandangan air laut yang kebiru-biruan terbentang dengan luasnya, langit biru dengan awan yang berarak membentuk berbagai gambar dalam imajinasiku , angin yang berhembus sepoi-sepoi, menyadarkan kepadaku begitu sempurnanya ciptaan Yang Maha Kuasa.

Sebagai seorang nelayan saat-saat yang menyenangkan adalah ketika hasil tangkapan melimpah ruah. Ribuan ikan yang terjerat dalam jaring meronta-ronta dan akhirnya terkulai dengan pasrah. Dengan bobotnya yang puluhan kilo sekali tangkap, menjanjikan penyelesaian berbagai masalah keluarga miskin seperti kami. Terbayang senyum Ibu saat melunasi hutang belanja bulan lalu di kedai  Mak Ida. Senyum lebar Doni karena tunggakan uang sekolahnya terlunasi.

Saat yang tidak menyenangkan bagi nelayan, ketika jumlah tangkapan sedikit. Terbayang wajah Ibu, tertunduk lesu saat mengajukan pembukaan hutang baru kepada Mak Ida. Biasanya Mak Ida tetap memberikan hutang belanja dikedainya, dengan syarat diomelin dulu. Mak Ida sepertinya harus pasrah dengan konsumennya yang berhutang, karena konsumennya yang mata pencahariannya di dominasi nelayan, dengan pendapatan tak tentu mengharapkan transaksi tunai sulit ia dapatkan “jauh panggangan dari api” kata orang tua dulu. Situasi yang tidak mengenakkan ini, dilampiaskannya dengan omelan ketika melayani konsumennya.

Walaupun diomelin Mak Ida, ibu-ibu dikampungku termasuk ibuku sendiri, tidak pernah kapok untuk berbelanja di kedai Mak Ida.Karena omelan Mak Ida mereka anggap bagai angin lalu saja, karena terlalu seringnya mereka di omelin. Sesama kaum perempuan mereka sepertinya saling memahami sikap Mak Ida adalah sikap perempuan pada umumnya, mengomel ketika berhadapan dengan situasi yang tidak mengenakkan.
Lagi pula di kedai Mak Ida lah mereka bisa berbelanja dengan berhutang, seolah-olah Mak Ida lah yang mengerti kesusahan mereka. Diam-diam sebetulnya mereka mengangggap Mak Ida adalah pahlawan,  pahlawan bagi  para istri  yang menjadi korban dari pendapatan suami yang tak pasti.

Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa aku sudah setahun membantu Ayah melaut, sedikit banyaknya pengetahuan tentang melaut pun aku mulai paham. Melaut adalah  pekerjaan yang membutuhkan pemahaman bahasa alam. Untuk mencari posisi ikan, cukup memperhatikan dimana burung layang-layang banyak terbang. Kalau disuatu tempat itu banyak burung layang-layang maka dapat dipastikan ditempat itu banyak ikan, karena burung layang-layang ini pun memakan ikan juga. Untuk mengetahui badai , dengan meperhatikan awan dan aroma udara. Awan yang terlalu banyak ditambah aroma udara terasa tidak segar (bau amis, apek) maka itu tandanya akan ada badai.

Kini Doni sudah kelas 6 SD, bahkan hari ini adalah hari terakhir dia sekolah, karena hari ini hari pengambilan rapor terakhirnya. Hari ini aku tidak melaut, kemarin tanganku terkena patil ikan sembilang. Bisa patil sembilang membuatku demam, aku tidak bisa membantu Ayah melaut, Ayah pergi dengan Wak Min, tetanggaku yang hari ini tidak punya kawan melaut juga.

Menjelang siang ku dengar suara kaki tergopoh-gopoh mendekati pintu, “Bang, bang coba abang lihat rapor ku ini”. Doni menghampiriku dengan membuka rapornya, rangking 2 tertulis di situ, selama ini ia hanya mampu bertahan di sepuluh besar. Rasa senangku Ku luapkan dengan menggendongnya. Kulihat senyum Ibu mengembang lebar, “Kepala Sekolah memberikan beasiswa bagi anak yang rangkingnya berada di 5 besar, sampai tamat SMP” kata Ibu. “Alhamdulillah” jawabku. Aku pun tersenyum lebar mendengarnya. 

Berita menggembirakan ini, tak sabar bagi Doni untuk menyampaikannya kepada Ayah. Menjelang senja, ia sudah mondar-mandir  melihat ke arah laut menunggu kepulangan Ayah. Tidak berapa lama  sosok bayangan pria dewasa muncul, ia berlari menghampiri, seakan-akan tak kuat lagi membendung ingin segera menyampaikan berita yang menggembirakan itu. Bayangan itu mendekat, aku meyadari itu bukan Ayah, perasaan cemas menjalar di sekujur tubuhku. Akupun berlari menghampiri, “Ayah mana Wak Min?.” Wak Min menarik napas panjang, lalu menggenggam bahuku dengan keras, sambil berkata dengan nada terbata-bata “Ayah,..Ayah kau dibawa ombak”. Mendengar itu, Doni menangis dengan kerasnya, Ku hampiri, lalu Ku gendong untuk menenangkannya. Isakan tangisnya”Ayah kita sudah tidak ada lagi bang” menusuk dalam hatiku, tanpa terasa bulir-bulir air mataku menetes.

Menurut cerita Wak Min, perahu motor yang mereka tumpangi bersama Ayah dihempas badai. Mereka terlempar dari perahu, mujur bagi Wak Min sebongkah kayu menghampirinya, lalu kayu itulah tempatnya mengapung, sampai nelayan lain datang membantu. Sedangkan Ayah begitu terlempar, lalu disambut lagi dengan gulungan ombak yang besar, menenggelamkannya dilaut yang sedang mengganas. Nelayan lain yang datang membantu, sudah berusaha mencari, namun badai yang tidak bisa bersahabat waktu itu mengancam keselamatan mereka. Akhirnya mereka dengan berat hati, segera mendarat untuk menghindari ganasnya badai yang sedang marah itu.

Berlahan tapi pasti, waktu jualah yang bisa merubah situasi. Kesedihanku dan Doni kehilangan Ayah berangsur-angsur reda, kami pun telah ikhlas melepas kepergiannya.
Tinggal Ibu yang sepertinya masih berat melupakan pria yang dicintainya itu .Terkadang disaat larut malam, kudengar  isakan tangisnya merindukan Ayah, aku merasa betapa besar rasa cintanya kepada Ayah. Lalu keesokan harinya, Ibu akan menatap ke laut disaat senja, sampai senja menghilang, barulah Ibu masuk kerumah, seolah-olah senja mewakili kehadiran pria yang dicintainya itu, pria yang lahir di kala senja, lalu berpulang dikala senja jua. Aku menyebutnya lelaki senja.         


Bandar Klippa, 8 Nopember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEDIH

  Ia ceritakan kepada malam Sebuah kisah yang kelam Ketika hati menjadi ulam Mengenang cinta yang suram   Ia ceritakan kepada bint...